Hukum Istisyhad

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والعاقبة للمتقين وصلى الله وسلم على بينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. 



          Istisyhad (mati syahid) itu bukan tujuan jihad tetapi tujuannya adalah izhharuddin (memenangkan agama Islam).
          Dengan kata lain, tujuan dasar jihad adalah memenangkan agama Islam dari semua agama, bukan mati syahid.
          Tentang keutamaan mati syahid.
          1. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.”. (At taubah :111)       
          2.  Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
          “ Allah telah menjamin bagi siapa saja yang keluar berperang di jalanNya, Dimana tidak ada yang mendorongnya keluar berperang selain karena keimananya padaKu dan membenarkan para utusanKu. (Aku menjamin) untuk memulangkannya bersama-sama dengan apa yang ia dapatkan baik berupa pahala maupun ghanimah atau Aku akan memasukkannya ke surga. Andaikata tidak memberatkan umatku, aku tidak akan tertinggal oleh pasukan yang berjihad. Dan aku ingin sekali untuk dapat terbunuh fi sabilillah lalu aku hidup (dan berperang lagi) hingga aku terbunuh. Kemudian aku hidup lagi (dan berperang) hingga terbunuh”. (Muttafaq alaih).
          3. Dari Anas, bahwa Nabi SAW bersabda,
          “ Tidak ada seorangpun yang masuk surga yang ingin kembali lagi kedunia meskipun didunia itu ia memiliki berbagai kekayaan, selain orang yang mati syahid, ia selalu berangan-angan agar dapat kembali kedunia hingga ia (berperang) lalu terbunuh sepuluh kali, dikarenakan karomah (kemuliaan) yang ia lihat”. (Muttafaq alaih).
          Makna hadits diatas, bahwa siapa saja yang masuk surga tidak ingin kembali lagi ke dunia meskipun ia memiliki semua apa yang ada di muka bumi ini, disebabkan keagungan nikmat-nikmat surga yang telah ia dapatkan. Dalam suatu hadits disebutkan, “ Tempat sebuat cemeti di surga itu lebih baik dari dunia dan seisinya”. (HR Al Bukhari)
          Namun, orang-orang yang mati syahid ingin sekali kembali kedunia hingga ia terbunuh sepuluh kali dan bahkan berkali-kali di jalan Allah agar manzilah (kedudukan)agung yang ia dapatkan di surga nanti berlipat ganda. Karena itu Ibnu Hajar berkata,” Ibnu Bathal berkata,” hadits ini merupakan dalil yang paling agung tentang mati syahid”. (fathul Bari 6/33).
          Disini ada sejumlah perkara yang berkaitan dengan kesyahidan yang patut untuk diperhatikan.
          Pertama       :  Pengaruh cinta mati syahid terhadap kemenangan
          Kedua          :  Rusaknya kecerobohan (Tahawwur)
          Ketiga          :  Rusaknya sikap kepengecutan (Jubr)
     Keempat      : Rusaknya ihjam ( mundur dari pertempuran karena takut    terbunuh dan tidak dapat melihat hari kemenangan).   

          Pertama, : Pengaruh cinta mati syahid terhadap kemenangan.
Cita-cita dan ambisi untuk meraih kesyahidan (mati syahid) merupakan faktor terbesar yang dapat mendorong seorang mukmin memiliki keberanian di dalam peperangan.
Dengan begitu, kesyahidan menjadi tiket kemenangan di dunia sekaligus surat perjanjian masuk surga di akhirat nanti. “ Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan ganti surga”. (At Taubah 111).
Ambisi untuk meraih kesyahidan ini dapat menjadi pengganti bagi kekurangan yang menimpa kaum muslimin, baik personal maupun perbekalan sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada kaum muslimin.
Ambisi mati syahid juga dapat memberikan teror kepada musuh, khususnya bila anda mengetahui bahwa musuh anda benar-benar memiliki ambisi yang sebaliknya. Orang-orang kafir itu manusia yang paling berambisi untuk hidup. Allah berfirman,
Katakanlah ! Jika kampung akhirat yang ada di sisi Allah itu murni milik kalian saja, bukan manusia lainnya, maka berangan-anganlah untuk mati, jika kalian adalah orang-orang yang benar ! Dan mereka sama sekali tidak akan mengangan-angankannya untuk selamanya  disebabkan kelakuan tangan-tangan mereka (yang mengakibatkan siksa Allah), sedangkan Allah Maha Mengetahui terhadap hamba-hambanya yang zhalim. Kalian benar-benar akan mendapatkan mereka itu manusia yang paling berambisi untuk hidup. Dan diantara orang-orang musyrik itu, salah satu diantara mereka ingin sekali agar umurnya dipanjangkan hingga seribu tahun, padahal dia tidak pernah bisa terhindar dari adzab, walau diberi panjang umur.” (Al Baqarah 94-96).
Perhatikanlah dua kalimat yang digaris bawahi diatas ! lalu bandingkanlah dengan sabda Nabi SAW, di dalam hadits Anas bin Malik [Kecuali orang yang mati syahid, ia berangan-angan agar dapat kembali ke dunia hingga terbunuh lagi sebanyak sepuluh kali, karena karamah (kemuliaan) yang dilihatnya.”].
Jadi ambisi seorang mukmin untuk meraih kesyahidan berbanding lurus (sebanding) dengan rasa takut orang kafir dalam menghadapi kematian dan ambisinya untuk hidup di dunia.
Karena itu, sepantasnyalah agar ditanamkan pemahaman tentang kesyahidan berikut keutamaannya di benak pikiran kaum muslimin dan menguatkan pemahaman ini dengan bentuk Idad imani serta mempelajari Sirah sahabat dan Salaf Shalih tentang peperangan-peperangan mereka.
Kembali saya ingatkan disini tentang pentingnya membuang jauh-jauh gaya hidup mewah dan membiasakan diri dengan kehidupan yang keras, meskipun ia mampu meraih kesenangan duniawi. Kehidupan yang keras ini berpengaruh terhadap kesabaran seseorang disaat ia berperang.
Sepantasnya untuk diperhatikan juga, bahwa cinta terhadap mati syahid adalah bagian dari siasat untuk menggertak (meneror) musuh yang merupakan prinsip terpenting diantara prinsip-prinsip jihad yang ada pada kaum muslimin. Nabi SAW bersabda “ Aku ditolong dengan rasa takut yang menghinggapi musuh selama perjalanan satu bulan. “ (HR Al Bukhari).
Tentunya tanpa menganggap hal tersebut sebagai sebuah kekhususan (bagi Nabi SAW).
* Prinsip siasat gertak (terror) dengan kegiatan tertentu dapa dibagi menjadi dua :
1. Poros kuantitas (horizontal),
yaitu yang tersebut dalam firman Allah SWT, “ Dan persiapkanlah untuk menghadapi musuh mereka itu segenap kekuatan yang kalian sanggupi dan kuda yang ditambat. Dengannya kalian dapat menakut-nakuti musuh Allah dan musuh-musuh kalian serta orang lain selain mereka yang kaian tidak mengetahui mereka, tapi Allah mengetahui mereka. Dan apa saja yang kalian infakkan dijalan Allah niscaya akan dipenuhi pahalanya bagi kalian dan kalian tidak akan dizhalimi.” (Al Anfal 60).
Prinsip terror pada ayat ini jelas, yaitu pada kalimat (“Dengannya kalian dapat menakut-nakuti”). Ia adalah wasilah (media) kekuatan, sedangkan item-item kekuatan ini terdiri dari harta (dana) personal dan persenjataan.
2. Poros Kwalitas (vertical)
Terdiri dari dua bagian yaitu bagian Maady (materi) ia dapat diwujudkan dengan meningkatkan kemampuan tempur seorang muslim Nabi SAW bersabda, “ Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah. “ (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Bagian yang lain adalah bagian Makanwi (immateri) yaitu dengan menanamkan permahaman cinta mati syahid dan kesabaran pada diri kaum muslimin. Firman Allah SWT : “ Bersabarlah kalian, dan kuatkanlah kesabaran kalian, serta tetaplah bersiap siaga di perbatasan negeri kalian”. (Ali Imran 200)”.
“ Jika kalian merasakan sakit (karena perang) maka sesungguhnya mereka juga merasakannya sebagaimana yang kalian rasakan sedangkan kalian memiliki harapan pahala dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (An Nisa 104).
Nabi SAW bersabda, “ Ketahuilah, bahwa kemenangan itu ada bersama kesabaran.”
Kembali saya ingatkan tentang I’dad imani, bahwa ketakwaan kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan dapat memberikan pengaruh secara langsung di medan tempur.
Allah SWT menjamin orang-orang yang bertakwa, bahwa musuh mereka akan mengalami kegoncangan dahysat. Firman Allah SWT, “ Akan kami lemparkan rasa takut itu kedalam hati orang-orang kafir.” (Al Anfal 12).
“ Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kalian, pasti mereka akan melarikan diri kebelakang lalu mereka tidak akan mendapat teman maupun penolong. Itulah Sunatullah yang telah berlalu pada umat-umat sebelumnya. Dan sekali-kali engkau tidak akan mendapati Sunatullah itu berubah”. (Al fath 22-23).
Karena itu takwa dan amal shalih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siasat terror ini !
Pemahaman seperti ini telah jelas dan melekat di benak pikiran generasi awal dari umat ini, sebagaimana terlihat jelas di dalam surat yang dikirim Umar bin Khatab kepada Saad bin Abi Waqash di dalam perjalanannya memerangi Persia. Semoga Allah meridhoi keduanya.
Kedua : Rusaknya kecerobohan
Kesyahidan bukanlah tujuan yang dimaksud ! ( Kecuali pada tempat-tempat kondisi-kondisi yang nanti akan saya sebutkan). Tetapi yang menjadi tujuan (jihad) adalah untuk memenangkan agama Islam (Izhharuddin).
Tidak mengapa seseorang berangan-angan, bercita-cita untuk mati syahid dan berupaya meraihnya dengan melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri pada saat peperangan, selama hal itu bukan tujuan pertamanya. Tetapi hendaklah tujuan pertamanya untuk memenangkan agama Islam.
Dengan kata lain, seorang muslim tidak sepantasnya untuk menceburkan dirinya ke dalam bahaya perang, hanya semata-mata ingin mati syahid tanpa memandang sejauh mana ia dapat mencelakai (menghancurkan) musuh yang menjadi targetnya. Dalilnya adalah Sabda Nabi SAW “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah tinggi, maka ia berada di jalan Allah”. (Muttafaq alaih).
Nabi SAW menjadikan tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah bukan mati syahid, yang kadang terjadi dan kadang tidak dapat terjadi.
Mati syahid tidak dapat terjadi melainkan bagi orang yang telah dipilih oleh Allah Ta’ala untuk menempati manzilah (kedudukan ini), FirmanNya,
“ Dan untuk mengambil orang-orang yang mati syahid diantara kalian”. (Ali Imran :140).
Maka berperanglah kamu dijalan Allah, kamu tidak dibebani kecuali dengan kewajiban kamu sendiri dan kobarkanlah semangat jihad terdapat orang-orang yang beriman, semoga Allah menahan kekuatan orang-orang kafir itu.” (An Nisa 84).
Allah SWT menyuruh hambanya agar berperang untuk menahan kekuatan orang-orang kafir.
Di ayat lain Allah SWT menyuruh hambanya agar menahan fitnah orang-orang kafir dengan cara memerangi mereka. “Sehingga tidak terjadi fitnah”. (Al Anfal 39).
Allah SWT juga menyuruh agar hambanya yang beriman dapat mencelakai orang-orang kafir dan menghacurkan mereka. “ Perangilah mereka, niscaya Allah mengadzab mereka melalui tangan-tangan kalian”. (At Taubah 14).
Allah SWT telah menjadikan tujuan jihad itu berupa memenangkan agama yang haq.
“ Dialah yang telah mengurus utusanNya dengan petunjuk dan agama yang hawa agar Rasul itu memenangkannya diatas semua agama, meskipun orang-orang musyrik membenci”. (At Taubah :33).
Allah SWT menjadikan peperangan itu sebagai wasilah (perantara) untuk memenangkan agama.
“ Dan perangilah mereka hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama yang hawa itu hanya milik Allah semata”. ( Al Anfal 39).
Jadi tujuan dasar jihad adalah memenangkan agama yang haq bukan semata-mata mati syahid. Maksud keterangan ini adalah menghentikan/mengekang nafsu liar kesembronoan/kecerobohan dan antara kepengecutan.
Kecerobohan yang saya maksud adalah melibatkan diri ke dalam kancah pertempuran dengan tujuan semata-mata untuk mendapatkan kesyahidan tanpa melihat sejauh mana kehancuran yang ada pada pihak musuh Anda. !
Tindakan seperti ini, meskipun dibolehkan dibeberapa tempat atau kondisi, seperti saat terkepung musuh, takut ditawan hingga ia berperang sampai terbunuh (seperti Sariyah Aashim bin Tsabit). (Al Mughni wasy Syarh Al Kabir 10/553).
Namun….walaupun boleh, tapi ia bukan tujuan dasar jihad sekiranya mati syahid itu tujuan dasarnya tentu melarikan diri dari pertempuran dengan tujuan bergabung dengan pasukan lain atau mengatur strategi perang tidak dibolehkan !!
Allah SWT berfirman “ Barangsiapa melarikan diri ke belakang bukan untuk mengatur strategi perang atau bergabung dengan pasukan lain, berarti ia telah mendapatkan murka Allah dan tempat kembalinya adalah neraka jahanam, dan ia adalah sejelek-jeleknya tempat kembali”. (Al Anfal 16).
          Dari sini dapat diketahui bahwa tujuan dasar jihad adalah untuk memenangkan agama sekaligus mencelakai/menghancurkan musuh.
          Tujuan jihad yang mu’tabar lainnya adalah menjaga/memelihara kekuatan umat Islam dan tidak menjerumuskan kaum muslimin agar hancur binasa tanpa menggunakan strategi (disiplin ilmu) militer.
           Karena itulah seorang muslim dibolehkan untuk melarikan diri dari orang kafir yang berjumlah tiga atau lebih. Seperti kata Ibnu Abbas.
          “ Barangsiapa melarikan diri dari dua orang musuh berarti ia benar-benar telah melarikan diri”. (dikeluarkan Al baihaqi).
          Di dalam surat Umar kepada Saad, (semoga Allah meridhoi keduanya) tertulis, “ Janganlah Engkau mengutus pengintai atau pasukan sariyah di suatu tempat yang engkau sendiri khawatir bila terjadi kekalahan atau kesia-siaan tu kehancuran pada mereka!”.
          Ini semua memahamkan bahwa menjaga kekuatan Islam yang dilakukan oleh Khalid bin Walid (taktik lusihab) di saat terjadi pertempuran hingga Nabi SAW menamakan peristiwa Insihab Khalid itu dengan kata Fath (kemenangan).
          Telah diriwayatkan Al Bukhari dari Anas, beliau berkata, Bahwa Nabi SAW memberitahukan kematian Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawadah kepada kaum muslimin sebelum Khabar kematian mereka dari medan tempur tiba, seraya berkata, “ Panji kaum muslimin dipegang oleh Zaid, lalu ia terbunuh. Kemudian panji itu dipegang oleh Ja’far, lalu ia terbunuh. Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah Ibnu Rawahah, lalu iapun terbunuh …(sambil kedua mata beliau bercucuran) hingga panji itu dipegang oleh satu pedang dari pedang-pedang Allah sampai Allah memenangkan kaum Muslimin atas musuh-musuhnya.”
          Ibnu Hajar berkta, “ Para Ahli Naql (perawi hadits) berselisih pendapat tentang maksud “ sampai Allah memberikan kemenangan atas mereka”. Sampai pada kata beliau, Al Imad Ibnu Katsir berkata, “ Dapat dikompromikan disini, bahwa tatkala khalid bergabung dengan kaum muslimin dan bermalam bersama mereka. Kemudian di pagi harinya beliau mengubah posisi pasukan ( sebagaimana keterangan sebelumnya). Musuhpun ragu dan menganggap bala bantuan dari pihak muslimin telah datang, khalidpun membawa kaum muslimin untuk menghadapi musuh saat itu. Merekapun akhirnya mundur dan ia tidak melakukan pengejaran terhadap mereka. Khalid memandang bahwa kembalinya pasukan Islam dengan selamat itu sebagai ghanimah yang besar”. (fathul bari 7/513-514).
          Saya katakan bahwa menjaga & memelihara kekuatan umat islam adalah tujuan yang mu’tabar (dipertimbangkan). Dan wajib untuk tidak menjerumuskan dan menceburkan kaum muslimin ke dalam kehancuran tanpa menggunakan strategi militer, yaitu mewujudkan kehancuran pada pihak musuh, dalam operasi tersebut.
          Sungguhpun begitu tetap ada beberapa perkara yang dikecualikan diantaranya bolehnya menceburkan diri sendirian ditengah-tengah musuh untuk mendapatkan kesyahidan dan ini tidak termasuk melemparkan diri kepada kebinasaan. Sebagaimana terdapat di dalam dua hadits, yaitu hadits Abu Ayyub dan Al Barra’ bin Malik yang disebutkan untuk menafsirkan Firman Allah   “ Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian kepada kebinasaan”.
          Dan ini jika dibolehkan bagi seseorang, pastilah kehancuran itu terwujud yaitu hancurnya keteguhan/ketegaran musuh dan berlarinya musuh darinya. Maka yang diprioritaskan adalah hancurnya ketegaran & keteguhan musuh itu. ( Al Mughni wasy sy6arh Al Kabir 10/553 – 554).
          Dari sisi pengamalan (amaliyah) saya bisa mengatakan bahwa seorang muslim bisa maju untuk melibatkan diri di dalam kegiatan perang apapun ! Tanpa melihat apa yang nanti menimpa dirinya dan menutup mata terhadap hasil amaliyah ini, asalkan memenuhi empat syarat.
          Pertama, masyruiyyah.
          Yaitu, mengetahui hukum jihad ini apakah ia disyariatkan dengan hukum wajib atau tidak ?
          Dan perkara yang disyariatkan itu menjadi asas untuk mengetahui keadaan musuh dan hukum Allah tentangnya ? Kami akan menyebutnya pada lampiran ketiga nanti insya Allah, bahwa perkara ini merupakan ilmu yang wajib bagi setiap pribadi muslim.
          Kedua, Ar Raayah (panji jihad)
          Sebatas mengetahui bahwa musuh anda adalah kafir dan berhak untuk diperangi adalah tidak cukup ! Tetapi wajib bagi anda untuk mengetahui siapa kelompok yang anda ajak untuk memerangi musuh anda berikut identitasnya. Apakah kelompok itu berada dibawah panji Islam atau tidak ?
          Bila kami mengatakan panji Islam, yang dimaksud adalah Islam yang murni yang tidak bercampur dengan kekufuran, seperti Faham sosialisme, demokrasi dan madzhab-madzhab kafir lainnya.
          Bila orang-orang yang memiliki panji itu mengatakan bahwasanya apa yang mereka lakukan itu demi tegaknya undang-undang Islam sosialis, atau Islam demokrasi, maka ini semua adalah kafir ! Karena Islam adalah undang-undang yang lengkap dan sempurna [ Pada hari ini telah kusempurnakan agama kalian buat kalian”. (Al Maidah : 3).
          Agama Islam sama sekali tidak membutuhkan hukum-hukum buatan manusia ini dan semua orang yang mencampur adukkan Islam dengan undang-undang/hukum-hukum buatan manusia lalu ia berbicaya dengan bahasa keadaan (perbuatan) dan terkadang berteriak dengan pernyataannya, “ sesungguhnya Agama Islam itu masih ada kurangnya dan kamilah yang menyempurnakannya dengan undang-undang buatan manusia ini. Ini semua adalah kafir !!!.
          Sisi kekufurannya adalah bahwa ia telah mendustakan Firman Allah [“ Pada hari ini telah kusempurnakan agama kalian bagi kalian”. Al Maidah : 3].
          Dalam keadaan apapun, berperang bersama kelompok yang berada di dalam panji-anji yang telah terkontaminasi ini tidak dibolehkan. Karena dengan tetap berperang bersama mereka itu berarti anda telah menolong panji kekufuran yang sama sekali tidak ada nilai fisabilillahnya sedikitpun !
          Nabi bersabda “ Barangsiapa berperang agar kalima Allah itu tinggi maka ia berperang di jalan Allah”. (Muttafaq alaih).
          Ketiga ; Menggunakan fungsi kemiliteran (Jadwal Askariyah).
          Tidak boleh maju/memberanikan diri untuk berperang kecuali setelah mempelajari kegunaan strategi militer dari perang itu. Karena tujuan dasar jihad adalah untuk memenangkan agama.
          Kadang-kadang operasi militer itu sifatnya cabang saja dan faedahnya pun sedikit, kecuali bila operasi miter itu tertuang di dalam rencana kemiliteran yang berlaku menyeluruh umum). Seperti sariyah-sariyah (operasi militer) yang dikirim oleh komandan pasukan. Target operasi itu sendiri terkadang siasat saja, seperti menakut-nakuti musuh, dan ini semua mu’tabar.
          Nabi SAW bersabda,
          “ Imam itu tidak lain hanyalah perisai (bagi rakyatnya), rakyatnya turut berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR Muslim).
          Ibnu Qudamah berkata, “ Urusan jihad itu diserahkan kepada Imam dan ijtihadnya, sedangkan rakyat haruslah mentaatinya sesuai pendapat-pendapatnya terhadap urusan jihad dan ijtihad itu (Al Mughni Wasy Syarh Al Kabir 10/373).
          Keempat : Mengambil tindakan-tindakan yang selamat dan aman.
          Hal ini dapat dilakukan dengan menguatkan penjagaan terhadap berbagai target dan tentara, kadang-kadang dengan menggunakan taktik-taktik tipu daya, atau bisa juga dengan mengambil tindakan-tindakan yang berkaitan dengan keselamtan pribadi, misalnya dengan memakai baju besi, topi baja, galian-galian parit dan semisalnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW, padahal beliau adalah orang yang terlindungi dari gangguan orang-orang kafir.
          Allah SWT berfirman, “ Dan Allah melindungi kamu dari (gangguan) manusia”. (Al Maidah 67).
          Beliau melakukan ini semua hanya semata-mata untuk dijadikan undang-undang bagi kita.
          Bila terbunuh/terluka itu terjadi dengan takdir allah, maka takdir ini harus ditolak dengan sebab-sebab yang disyariatkan yang mana ia juga merupakan takdir Allah SWT.
          Tidak ada kata menyerah atau tunduk untuk dibunuh/dilukai. Sebab, bila tidak berprinsip demikian tentu seseorang akan menyerahkan diri kepada musuh yang kafir.
          Jadi musuh ini adalah bagian dari takdir Allah, maka kewajiban kita adalah menolaknya/membela diri.
          Dan di dalam kaidah ini, yaitu kaidah melawan takdir dengan takdir (yang lain), Ibnu Qoyim pernah berkata, “ Syaikh Iraq yang teladan Abdul Qadir Jaelani berkata, “ Manusia itu bila telah sampai kepada Qodho dan Qadar, mereka pasti menahan diri, kecuali aku ! Dalam catatan taqdir,lobang udara itu telah mengembung penuh dengan udara lalu aku mengangkat takdir-takdir yang benar itu dengan cara yang benar dan untuk kebenaran. Dan seseorang itu ada yang membantah/menolak takdir bukan menyerah dengan takdir.
          Kemaslahatan-kemaslahatan seorang hamba di dalam kehidupannya tidak akan sempurna kecuali dengan menolak takdir-takdir itu, sebagiannya dengan sebagian yang lain ! lalu bagaimana dengan urusan akherat mereka ?
          Allah SWT telah memerintahkan agar perbuatan buruk (yang juga merupakan takdirNya) itu ditolak dengan perbuatan yang baik (yang ia juga merupakan takdirNya).
          Rasa lapar adalah Taqdir Allah, dan Dia menyuruh agar ditolak dengan makan yang ia juga takdirNya.  !!
          Nabi SAW telah menerangkan makna ini dengan seterang-terangnya, tatkala para sahabat bertanya,
          “ Apa pendapat engkau tentang obat-obat yang kami berobat dengannya, ruqyah (jampi-jampi) yang kami gunakan untuk meruqyah (mengobati dengan membaca jampi-jampi), serta takwa yang kami dapat menjaga diri dengannya ? Apakah semua itu dapat menolak takdir Allah walaupun sedikit ? “ Nabi SAW menjawab, “ Semua itu (obat, ruqyah, takwa) adalah takdir Allah “!
          Di dalam hadits lain disebutkan,
          “ Sesungguhnya doa dan bala’ akan saling berperang di antara langit dan bumi.”
          Dan apabila musuh kafir telah menginjakkan kakinya di bumi Islam, itu terjadi dengan takdir Allah juga !!
          Lalu…. Apakah kaum muslimin boleh menyerah terhadap takdir itu ? dan tidak mau menolak musuh itu dengan takdir (kekuatan) yang semisal dengannya ? yaitu jihad yang mana dengannya mereka akan menolak takdir Allah dengan takdirNya yang lain ? (Madarijus Salikin 1/199-200).
          Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah benar-benar telah menyebutkan pernyataan semacam ini sebagai komentar beliau terhadap ucapan Syaikh Abdul Qadir Jailani juga. ( Majmu’ fatawa 2/458).
          Menurut saya menolak takdir dengan takdir yang lain adalah kaidah yang baku menurut syar’i. Itu merupakan ketetapan kaum muslimin sejak zaman sahabat Nabi SAW.
          Hal ini ditunjukkan oleh penolakan Umar Bin Khattab terhadap Abu Hubaidah,. Yaitu tatkala Umar tiba di Syam lalu mendapati wabah (sampar) telah berjangkit di sana. Maka Umarpun bermusyarwarah dengan beberapa orang.
          Kemudian beliau bertekad untuk kembali (menjauhi Syam). Akhirnya Abdurrahman bin Auf memberi tahu tentang hal itu, yaitu bahwa Nabi SAW pun menyuruh demikian untuk kasus yang semisal. (menjauhi wabah).
          Hadits itu diriwayatkan Al Bukhari dari Ibnu Abbas. Umar Menyeru manusia, “ Aku akan melaksanakan sholat diatas punggung kendaraan maka lakukanlah sholat diatasnya”. Lalu Abu Ubaidah AL Jarrah berkata, “ Apakah anda lari dari Takdir Allah ? Umar berkata, “ Alangkah baiknya bila yang mengucapkannya selain engkau hai Abu Ubaidah ! Ya…kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (yang lainnya)”. (Hadits no 5729).
          Saya katakan, “ Maka keempat syarat ini (Masyruriyah, ar raayah (panji Jihad), AL jadqa Al Askariyah (Manfaat ilmu kemiliteran) dan tindakan-tindakan yang selamat dan aman), bila anda telah mengambilnya, menjaga dan memeliharanya disaat berperang maka majulah dan tawakkallah kepada Allah dan jangan peduli terhadap musibah-musibah yang menimpamu atau keuntungan yang akan kamu dapatkan dari peperangan ini. Semuanya diserahkan kepada Allah.
         
          Ketiga : Rusaknya kepengecutan
          Berlawanan dengan keterangan sebelumnya,(tentang istisyhad) anda menjumpai bahwa penyakit pengecut dan wahn (cinta dunia dan takut mati) adalah penyakit parah yang menyebabkan umat Islam dikeroyok oleh umat-umat lain laksana hidangan diatas piring besar yang dikerumuni oleh orang-orang yang bernafsu terhadapnuya, sebagaimana yang tertera dalam Hadits Tsauban.
          Terapi penyakit hati ini adalah dengan membuang gaya hidup mewah. Terapi itu dijadikan fondasi dengan cara melekatkan aqidah (iman terhadap takdir Allah), yaitu agar seorang muslim mengetahui bahwa musibah yang menimpa dirinya itu bukan berarti menyalahkannya. Dan kesalahan-kesalahan yang ia perbuat bukan berarti sumber musibah yang menimpanya.
          Ajal sesuatu itu telah ada batasnya, sejak dahulu, Rizkipun demikian, dan musibah apapun yang menimpa seorang hamba telah ada ketentuannya disisi Allah. Allah SWT berfirman.
          “ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidakpula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya kepadamu. Dan Allah tidak suka kepada orang yang sombong lagi membanggakan diri”. ( Al Hadid 22-23).
          “ Dan tidaklah suatu jiwa itu mati kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”. (Ali Imran 145).
          “ Maka apabila ajal telah tiba, mereka tidak dapat mengakhirkan atau menyegerakannya sedikitpun”. (Al A’raf 34).
          Dari Ibnu Masud bahwa Rasulullah SAW bersabda,
          “ Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa Nuftah (Air Mani) kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian sekerat daging selama itu juga. Kemudian diutuslah kepadanya malaikat lalu ia meniupkan kedalam sekerat daging itu ruh dan diperintahkan dengan empat kalimat, yaitu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagia.” (Muttafaq alaih).
          Dari Ibnu Masud, Nabi SAW bersabda,
          “ Sesungguhnya Ruhul Qudus (jibril ) memberikan ilham pada hatiku bahwa nyawa itu tidak akan mati hingga rizki dan ajalnya sempurna. Takutlah kalian kepada Allah dan perbaguslah usaha kalian dalam mencari (rizki).” (HR Abu Nua’im di dalam Kitab Al Hilyah, dengan sanad shahih dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
          Jadi rizki dan ajal itu telah ditakdirkan, tidak bisa dihindari karena itu banyak kalangan salaf yang tidak suka berdoa agar panjang umur.
          Adapun tentang hadits Nabi SAW         “ Barangsiapa ingin agar rizkinya dibentangkan untuknya, dan agar tertunda kematiannya (panjang umur) maka hendaklah ia menyambung silaturahmi”. (Muttafaq alaih).
          Ibnu Hajar telah memberikan tarjih dan selain beliaupun telah memastikan bahwa maksud dari berkah di dalam rizki dan umur itu bukanlah sesuatu yang lebih dari apa yang telah ditaqdirkan. Beliau menyebutkan sebagian atsar yang menguatkan tarjih ini (fathul Bari 10/ 415 – 416).
          Jadi yang mesti diketahui bahwa jihad itu tidak mendekatkan kepada ajal atau menghalangi rizki ! Namun demikian tarjih ini tidak mematikan usaha untuk mengambil sebab-sebab yang disyariatkan. Seperti, berusaha mencari rizki (maisyah), mengenakan baju besi disaat perang, menggali parit, dan lain-lain dalam rangka menghadapi musuh, seperti yang telah disyariatkan oleh Nabi SAW.
          Maka tidak ada pemisahan antara Iman dengan takdir dan antara melaksanakan sesuatu yang diperitahkan.
         
          Keempat : kerusakan ihjam (mundur dari pertempuran karena takut terbunuh dan tidak dapat melihat hari kemenangan)
          Yang saya maksud dengan ihjam adalah bahwa rasa senang terhadap kemenangan itu telah tertanam di dalam jiwa.
          “ dan adalagi karunia yang lain, yang kamu sukai yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat”.(Ash Shof 13).
          Rasa senang kepada kemenangan itu terkadang dapat berubah menjadi kebinasaan yang membuat seorang muslim menahan diri/mengundurkan diri dari turut serta dalam pertempuran pertama atau kedua, karena takut terbunuh dan tidak dapat hidup lagi guna menyaksikan hari kemenangan yang pasti. Ini terjadi karena kebodohannya terhadap hakekat kewajibannya.
          Orang islam itu diperintahkan untuk berjihad menurut dasar syari, bukan diperintahkan untuk mewujudkan kemenangan yang pasti.
          Baginya sama saja, apakah kemenangan itu diperoleh melalui tangannya atau tangan saudaranya atau anak-anaknya yang penting ia telah menunaikan kewajibannya. Dan ia  akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
          Allah berfirman, “ barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasulnya, kemudian kematian menimpanya sebelum sampai kepada tempat yang dituju, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah”. (An Nisa : 100).
          Inilah orang yang berusaha  melaksanakan hijrah yang wajib, namun  ia belum sampai kepada tempat yang ia tuju, bahkan ia telah menjumpai maut sebelum sampai di tempat hijrah sungguhpun demikian telah tetap pahalanya di sisi Allah SWT.
          Lebih jelas lagi keterangan tentang maksud firman Allah, “ yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan bencana kepada musuh melainkan ditulislah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal solih. Sesungguhn ya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik”. Dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah melainkan dituliskan bagi mereka amal shalih pula, karena Allah akan memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (At Taubah 120-121).
          Ayat ini tidak dapat meninggalkan sedikitpun susah payah yang dilakukan oleh seorang muslim di dalam jihadya melawan musuh Allah melainkan ia telah menetapkan bahwa amal itu adalah amal shalih yang dengannya pelakunya akan mendapat balasan kebaikan, tanpa ada syarat (“harus mencapai tujuan atu memperoleh kemenangan)”.
          Sebagai tambahannya adalah patut diketahui bahwa barangsiapa berjihad dan belum pernah mendapatkan ghanimah atau kemenangan, maka yang demikian itu justru lebih besar pahalanya disisi Allah dibandingkan orang yang berjihad dan telah mendapatkan ghanimah dan kemenangan. Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
          “ Tidak ada sepasukan ghozwah atau sariyyah yang berperang lalu mendapat ghanimah dan selamat melainkan mereka telah mengambil persekot dua pertiga pahala mereka. Dan tidak ada sepasukan ghozwah atau sariyyah yang gagal dan celaka melainkan pahala mereka telah sempurna”. (HR Muslim).
          Semisal dengan itu adalah hadits Khabab bin Al Aratsts beliau berkata, “ kami hijrah bersama Rasulullah SAW untuk mencari wajah Allah SWT, maka sungguh telah tetap pahala kami disisi Allah. Diantara kami ada yang mati sedangkan ia belum pernah makan pahalanya (hasil-hasil perang) sedikitpun, diantara mereka adalah Mus’ab bin Umair RA. Beliau terbunuh pada perang Uhud dan meninggalkan sehelai kain wol (selimut badan). Maka jika kami tutupkan kain itu dikepalanya pasti kedua kakinya kelihatan dan bila kakinya yang ditutup kepalanya kelihatan. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kami agar menutup bagian kepala dan menutup kedua kakinya dengan sesuatu dari pohon idzkhir. Dan diantara kami ada yang telah memetik buah yang telah matang (menikmati hasil-hasil perang)”. (Muttafaq alaih)
          Inilah akhir tentang Masalah Istisyhad yang saya ketahui.              
                      
Wallahu a’ala a’lam


Mu’allif Asy Syaikh Abdul Qadir bin Abdul ‘Aziz
Min Kitaab Al Umdah Fie I’dadil ‘Uddah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar